安装 Steam
登录
|
语言
繁體中文(繁体中文)
日本語(日语)
한국어(韩语)
ไทย(泰语)
български(保加利亚语)
Čeština(捷克语)
Dansk(丹麦语)
Deutsch(德语)
English(英语)
Español-España(西班牙语 - 西班牙)
Español - Latinoamérica(西班牙语 - 拉丁美洲)
Ελληνικά(希腊语)
Français(法语)
Italiano(意大利语)
Bahasa Indonesia(印度尼西亚语)
Magyar(匈牙利语)
Nederlands(荷兰语)
Norsk(挪威语)
Polski(波兰语)
Português(葡萄牙语 - 葡萄牙)
Português-Brasil(葡萄牙语 - 巴西)
Română(罗马尼亚语)
Русский(俄语)
Suomi(芬兰语)
Svenska(瑞典语)
Türkçe(土耳其语)
Tiếng Việt(越南语)
Українська(乌克兰语)
报告翻译问题
Pakaian mereka tercerai-berai. Prabowo mendorong Teddy ke dinding, merobek seragamnya dengan tangan yang tak sabar, memperlihatkan kulit panas yang siap dikuasai. "Kau tahu UU ini kasih kita kebebasan," bisik Prabowo, tangannya menjelajahi dada Teddy. "Usia pensiun naik, kau bertahan di bawahku lebih lama—di TNI, di ranjang. Kau suka?"
"Suka, Pak... aku rela jadi pionmu," jawab Teddy, matanya memohon saat tubuhnya terbuka penuh. "Ambil aku, Pak. Buat aku milikmu—seperti Pak kuasai politik."
Malam itu, di tengah gemuruh politik pasca-RUU TNI, Prabowo mengambil alih sepenuhnya—setiap sentuhan adalah tanda dominasi, setiap erangan Teddy adalah bukti penyerahan. Mereka tenggelam dalam birahi, Prabowo sebagai penguasa tak tergoyahkan, Teddy sebagai bawahannya yang rela dikuasai, di ranjang dan di panggung politik.
░░░░░▄█▌▀▄▓▓▄▄▄▄▀▀▀▄▓▓▓▓▓▌█
░░░▄█▀▀▄▓█▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▓▀░▓▌█
░░█▀▄▓▓▓███▓▓▓███▓▓▓▄░░▄▓▐█▌
░█▌▓▓▓▀▀▓▓▓▓███▓▓▓▓▓▓▓▄▀▓▓▐█
▐█▐██▐░▄▓▓▓▓▓▀▄░▀▓▓▓▓▓▓▓▓▓▌█▌
█▌███▓▓▓▓▓▓▓▓▐░░▄▓▓███▓▓▓▄▀▐█
█▐█▓▀░░▀▓▓▓▓▓▓▓▓▓██████▓▓▓▓▐█
▌▓▄▌▀░▀░▐▀█▄▓▓██████████▓▓▓▌█▌
▌▓▓▓▄▄▀▀▓▓▓▀▓▓▓▓▓▓▓▓█▓█▓█▓▓▌█▌
█▐▓▓▓▓▓▓▄▄▄▓▓▓▓▓▓█▓█▓█▓█▓▓▓▐█